MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 59 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 59 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)

2 posters

Go down

Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  Empty Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)

Post by admin Sun 05 Sep 2010, 7:19 am

Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)

Kisah Bima mencari tirta
pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana
manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas
dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup
manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat
ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan amanat bagaimana manusia
kembali menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa
Ia Yang Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan
Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa
pun’.

Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima dalam menuju
manusia sempurna disebutkan melalui empat tahap, yaitu: syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah
jiwa, dan sembah rasa).

PENDAHULUAN
Kisah tokoh utama Bima
dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara
filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan
batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan
proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan
Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

Proses
pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi
yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal
dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita
Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya
Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane
dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu
sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

Nilai
Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah
tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci
dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan
makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa
(Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran
Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat
tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan
dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga)
adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah,
yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari
segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya.

Di samping amalan-amalan seperti itu,
dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani
syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia
hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan
ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal
saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan
dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.

Nilai Filosofis Bima
Taat kepada Guru

Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan
bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh
saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta
Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan
saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat
menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi
salah satu tahap syariat.

Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

Selain
taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah
bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta
Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa
hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya
ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

Nilai
Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

Tarekat
(Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia
sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku
dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan
ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini
lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia
dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali
terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang
maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan
menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak
hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat
sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya
kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang
dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam,
lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan
khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

Bagian-bagian
cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya
terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini
bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang
melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan
Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat.
Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta
Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban
itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di
tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun
ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera
berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah
tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga
secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi
sebagian tahap laku tarekat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang
Berkaitan dengan Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa)
adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh
dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa,
berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri,
1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan
melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian
maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai
yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah
tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu
tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan
dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

Dalam keadaan demikian, hamba
menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan
melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani
takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada
rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada.
Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud
ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan
akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan
perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas,
mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang
sejati (Aceh, 1987:67).

Tahap ini biasa disebut keadaan mati
dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat
terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa
lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini
muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian
tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya
ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana
alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna
cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading
yang bersinar).

Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

Setelah
Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati
yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya.
Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama
ini ke dalam badan Dewaruci.

Bima masuk ke dalam badan Dewaruci
melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga
mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya
diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati
sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk,
jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang
luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai
kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo,
1967:45-46).

Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian
melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama
dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama
dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa
sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci
yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk
dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai
berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di
alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk.
Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara
filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Nilai
Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong

Bima
setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak
melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh
tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa
kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak
bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi
atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa
Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama
sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya
telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini
manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi
dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu,
manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya
(Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan
bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung.
Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan
cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara,
selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan
mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam
keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak
merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan
sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima
secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Setelah
mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat
berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya,
sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan
boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti
itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran
hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

Nilai Filosofis Bima Melihat
Pancamaya

Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya.
Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan.
Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh
Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam
hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang
menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu:
merah, hitam, dan kuning.

Nilai Filosofis Bima Melihat Empat
Warna Cahaya

Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu:
hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang
pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta
karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak
terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan
bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap
masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih
perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan
menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang
tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup
(membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning
pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju
kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul
dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah,
dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah,
dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan
Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam,
hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih
ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa
menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning,
manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna
hidupnya.

Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna
Delapan

Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya
melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’.
Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya
Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima.
Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil,
mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya.
Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan
menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati,
Yang Tunggal.

Nilai Filosofis Bima Melihat Benda bagaikan Boneka
Gading yang Bersinar

Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat
pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia
melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah Pramana,
secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibabtasi
oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di dalamnya
terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya
mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono,
1983:40).

Nilai Filisofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan
Makrifat

Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan
menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat
berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya
(Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau
mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu
atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi zat dan sifatnya.
Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai
dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi
manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan
merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang
Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada
manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi.
Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena
kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri,
1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah
manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula
Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

Pada
titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia
akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia
menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti),
menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia
yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar,
merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang
masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia
yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi
laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

Keadaan yang dialami oleh
Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di
antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air
dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya
tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar
bulan purnama menyinari bumi.

Nilai Filosofis Hamba (Bima)
dengan Tuhan bagaikan Air dengan Ombak

Wujud “Yang Sesungguhnya”,
yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang
menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada
pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal
penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya
(bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin Suksma
telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya,
bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun,
bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson,
1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam
keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono,
1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan
Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat
dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba
dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga
keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah
mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan
mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono,
1983:45).

Nilai Filosofis Bima Merasakan Nikmat dan Bermanfaat

Bima
setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak
berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak
merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang
dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal
terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung
pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan
jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat,
itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara
filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Nilai
Filosofis Segala yang Dimaksud oleh Bima Tercapai

Segala yang
menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang
dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya.
Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara
filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.
Segala
yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan
dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat
terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua
macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut
keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut
mukjizat (Nicholson, 1975:129).

Nilai Filosofis Bima Merasakan
Bahwa Hidup dan Mati Tidak Ada Bedanya

Hidup dan mati tidak ada
bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat
mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian
manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan
perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas,
kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan
yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia
kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang
Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada
bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai
tahap makrifat.

Nilai Filosofis Hati Bima Terang bagaikan Bunga
yang Sedang Mekar

Bima setelah mengetahui, menghayati, dan
mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan
dari Dewaruci, ia hatinga terang bagaikan kuncup bunga yang sedang
mekar. Dewaruci kemudian musnah. Bima kembali kepada alam dunia semula.
Ia naik ke darat kembali ke Ngamarta. Keadaan hati yang terang benderang
bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan
bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Kesimpulan

Kisah
Bima dalam mencari tirta pawitra dalam cerita Dewaruci secara filosofis
melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna
menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi ‘asal
dan tujuan hidup manusia’ atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah
ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan
bagaimana manusia menuju Tuhannya. Konsepsi manusia disebutkan bahwa ia
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Ia dijadikan dari air.
Ia wajib menuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu tugas guru hanya memberi
petunjuk. Manusia tidak memiliki karena segala yang ada adalah
milik-Nya. Ia wajib selalu ingat terhadap Tuhannya, awas dan waspada
terhadap segala godaan nafsu yang tidak baik, sebab pada akhirnya
manusia akan kembali kepada-Nya. Konsepsi Tuhan disebutkan bahwa Ia Yang
Awal dan Yang Akhir, Hidup dan Yang Menghidupkan, Mahatahu, dan
Mahabesar. Ia tan kena kinaya ngapa ‘tidak dapat dikatakan dengan apa
pun’.
Kisah perjalanan batin Bima dalam menuju manusia sempurna ini
dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan
makrifat (Jawa sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa).
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 8037
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  Empty Re: Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)

Post by agus Mon 27 Sep 2010, 6:47 pm

Thread yang bagus dan menarik bung admin. Adakah bung admin merasa demikian untuk mengenal diri yang sebenar-benarnya?
Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)  706181
agus
agus
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 8588
Location : Everywhere but no where
Job/hobbies : Baca-baca
Humor : Shaggy yang malang
Reputation : 45
Points : 14650
Registration date : 2010-04-16

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum